Story Of Batang Kuantan River

 

Batang Kuantan, begitulah masyarakat di Kabupaten Sijunjung menyebutnya, “batang” dalam bahasa Minang berarti “sungai”. Batang Kuantan berhulu di Kabupaten Sijunjung tepatnya di Muaro Sijunjung, Sumatera Barat, yang merupakan hasil pertemuan tiga sungai yaitu, Batang Ombilin, Batang Sukam, dan Batang Palangki.

Batang Kuantan bermuara di pantai timur Sumatera tepatnya di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau dengan panjang lebih kurang 500 KM. Masyarakat di Provinsi Riau mengenal nama aliran Batang Kuantan ini dengan nama sungai Indragiri. Batang Kuantan telah ada sejak awal tahun 1850-an yang keberadaannya berawal dari adanya pemukiman di sekitar Batang Kuantan pada abad ke-19 oleh penduduk pendatang asal wilayah Sumatera.

Asal mula nama “Kuantan” dikisahkan yang mana dahulunya masyarakat di Kuantan Singingi mempercayai Batang Kuantan ini terdapat banyak akar dan dahan kayu yang menjulur hingga ke tengah sungai, kemudian Datuk Perpatih Nan Sabatang (menurut riwayat merupakan pembesar kerajaan Kandis) harus mengangkat dan memindahkan dahan dan akar tersebut agar rakitnya bisa hilir dengan baik saat beliau melintasi sungai ini. Dan dari situlah, muncul kata “Kuak Tan”, yang lama kelamaan berubah menjadi sungai atau nama batang Kuantan.

Batang Kuantan merupakan saksi sejarah masa lampau, diantaranya kisah Ir.Willem Hendrik De Greve yang berkebangsaan Belanda yang telah melakukan berbagai penelitian dalam dunia pertambangan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Sebelum De Grave, seseorang yang juga berkebangsaan Belanda bernama Ir. C. De Groot, telah lebih dulu melakukan penyelidikan akan keberadaan batu bara di daerah Ombilin dan Sijunjung pada tahun 1858. De Groot sudah mengawali Sembilan tahun lebih dulu dari De Greve.

Lalu pada 26 Mei 1867 Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Pieter Mijer mengeluarkan surat keputusan yang berisikan perintah untuk menugaskan Willem Hendrik De Greve sebagai seorang ahli Geologi untuk melakukan penyelidikan lebih detail mengenai endapan kandungan batu bara di Ombilin-Sawahlunto, karena laporan penyelidikan awal yang dilakukan De Groot belum terekplorasi secara detail mengenai jumlah endapan kandungan batubara.

Saat ditugaskan De Greve belum berusia 30 tahun, saat menjalankan tugasnya ia tidak hanya mereka-reka, buktinya ketika ekspedisi dimulai De Greve mengawali perjalanannya dengan menyusuri sungai Ombilin dari hulu (Ombilin). Lebih kurang setahun, tepatnya 1868 secara pasti dan meyakinkan De Greve menyatakan bahwa kandungan batu bara Ombilin di Sawahlunto nyata adanya. De Greve belum berhenti tugas sampai disana, ekspedisi dilanjutkan, ia melakukan penyelidikan lagi mengenai kandungan batubara pada cekungan batang Ombilin yang mengarah ke wilayah Sijunjung.

Sedikit tugas ekstra, De Greve sekaligus menelusuri kemungkinan memperoleh petunjuk sebagai alternatif transportasi batu bara dengan memanfaatkan jalur sungai Ombilin-Batang Kuantan-Sungai Indragiri yang terus bermuara ke pantai Timur Samudera Hindia. Diluar perhitungan dan dugaan De Greve, kala mengarungi Batang Kuantan yang besar dan berarus deras, ia beserta rombongan terseret arus. Perahu kayu yang ditumpangi bersama penduduk lokal yang mendampingi dalam ekspedisi terhempas sampai terbalik, semua orang dan barang dalam perahu tersebut hanyut terbawa arus.

De Greve sempat menyambar dan berpegangan pada perahu kayu yang ditumpanginya dalam keadaan terbalik. Namun besarnya air dan deras arus Batang Kuantan membuat ia tidak kuat bertahan, ia tidak dapat menyelamatkan diri atau tidak pula ada yang menyelamatkannya. Setelah beberapa hari dilakukan pencarian, akhirnya Greve ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa lagi, jenazahnya seperti setengah jongkok dan kaku, hingga jenazahnya dimakamkan dalam posisi duduk.

De Greve tewas pada 22 Oktober 1872, kemudian dimakamkan di Durian Gadang, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. Dari kisah De Greve dapat kita lihat bahwa Batang Kuantan merupakan sungai yang perkasa dengan arusnya yang sangat deras menjadi saksi sejarah berakhirnya perjuangan seorang ahli Geologi yang terkenal di Belanda dan sangat berperan penting dalam penelitian batubara dan mineral di Sijunjung.

Selain itu, pada tahun 1864 terdapat kisah Thomas Dias yang diperintahkan oleh Gubernur Belanda (VOC), Cornelis Quelbergh, untuk pergi ke Hulu Sungai Siak dengan tujuan mencoba menjalin hubungan dengan raja Minangkabau di kerajaan Pagaruyung, supaya nantinya Belanda dapat berdagang secara langsung dengan penyedia emas, lada, dan timah di Minangkabau.

Misi lainnya yaitu menjadikan Minangkabau sebagai sekutu potensial di tengah konflik yang terus-menerus terjadi antara Johore, Siak, Jambi, Palembang, dan Belanda-Malaka. Dias adalah semacam makelar (Pakang) yang menjadi penghubung antara perusahaan seperti VOC dengan saudagar dan pemimpin lokal.

Wilayah Silukah, menjadi tujuan perjalanan Thomas Dias selanjutnya karena menjadi pusat pelabuhan atau pangkalan untuk perdagangan seperti emas, rempah, dan kain. Letaknya di hulu Sungai Indragiri atau Batang Kuantan, dan merupakan pelabuhan penghubung antara pedalaman Minangkabau dengan pantai timur Sumatera. Saat ini Silukah tercatat sebagai salah satu Jorong di Nagari Durian Gadang, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung.

Ketika hendak melakukan perjalanan pulang pun Thomas Dias berpamitan dengan Raja Pagaruyung melalui Batang Kuantan dengan gagah berani. Batu Godang yang berada di Jorong Silukah Nagari Durian Gadang, Kecamatan Sijunjung dan terletak di tepi sawah sekitar 400 meter dari Batang Kuantan menjadi salah satu jejak sejarah masa lampau yang berhubungan dengan Batang Kuantan, dimana Batu Godang tersebut merupakan sebuah batu yang mempunyai ukuran sebesar kepala kerbau yang menurut informasi tokoh adat Sijunjung batu tersebut dibawa oleh rombongan kerajaan Johor Malaysia ketika melakukan kunjungan ke kerajaan Pagaruyung.

Mereka melakukan perjalanan dari Selat Malaka melalui sungai Indragiri terus ke Batang Kuantan. Dan setibanya di daerah Silukah rombongan tersebut beristirahat dan menurunkan batu tersebut di perkampungan, namun ketika akan melakukan perjalanan kembali batu tersebut tidak bisa diangkat sehingga rombongan melanjutkan perjalanan ke Pagaruyung tanpa membawa batu itu.

Dengan demikian, dari keberadaan Batu Godang serta kisah Thomas Dias yang telah diceritakan sebelumnya sudah membuktikan bahwa Batang Kuantan dahulu merupakan sarana transportasi antara pedalaman Minangkabau menuju pantai Timur Sumatera serta akses jalur pelayaran yang terhubung ke mancanegara.

Selain itu, makam anak Rajo dari Raja Adityawarman (Raja Kerajaan pagaruyung) juga menjadi peninggalan sejarah karena berada di pinggiran sungai Batang Sinamar, karena menurut sejarah raja Pagaruyung pernah membangun kerajaan di daerah Kumanis dengan melintasi Batang Kuantan sebagai sarana transportasi mereka menuju Nagari Kumanis.

Batang Kuantan juga memiliki jejak sejarah dalam proses perkembangan Islam di Sijunjung, syiar agama islam yang dilakukan pada zaman dahulu pun ada yang melalui sungai, perjalanan dimulai dari Selat Malaka ke sungai Indragiri sampai ke Batang Kuantan dan ke sungai-sungai kecil disekitarnya dengan menggunakan perahu sederhana .

Menurut pemuka adat dan agama di Sijunjung awal perkembangan islam terjadi pada abad ke-16 dimulai dari Syekh Amilludin yang berasal dari Jorong Pudak Nagari Sijunjung, yang pergi mendalami ilmu agama ke Taram, Kabupaten Lima Puluh Kota. Kemudian dari Taram, beliau merantau ke Siak (Riau) untuk mengembangkan agama Islam.

Disana beliau memiliki murid-murid yang kemudian beliau bawa ikut serta kembali ke Sijunjung dengan melewati sungai Batang Kuantan, kemudian lanjut ke sungai Batang Sukam, tepatnya di Jorong Pudak beliau mendirikan surau bersama murid-muridnya yang digunakan sebagai tempat belajar agama Islam.

Sehingga dengan kembalinya Syekh Amilludin dengan membawa murid-muridnya ke Sijunjung menjadi panutan dan contoh bagi masyarakat setempat dalam berperilaku dan bersikap sesuai ajaran agama Islam. Dari sini dapat kita lihat bahwa Batang Kuantan berperan penting dalam perkembangan agama Islam di Sijunjung, ini dapat dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa surau-surau tuo dan pemukiman yang ada di Kabupaten Sijunjung yang pada umumnya berada dipinggiran sungai, diantaranya yaitu surau Simauang dan surau Calau.

Jejak sejarah perkembangan Islam juga tampak di Sijunjung berupa perilaku dan sikap sesuai ajaran agama Islam yang sampai saat ini diterapkan masyarakat Sijunjung dalam kehidupan sehari-hari, seperti cara berpakaian yang sopan, rutin mengaji ke surau setiap sore, cara berbicara yang baik, dan lainnya.

Peninggalan sejarah tak benda lainnya juga terdapat pada kisah Siti Hasimah/Inyiak Simah yang merupakan anak angkat dari Raja Paku Alam II yang mengajarkan ilmu Silat Pangean kepada masyarakat didaerah aliran Batang Kuantan, dimana dahulunya kerajaan Pagaruyung sering terjadi kekacauan yang tak hentinya sehingga Inyiak Simah memutuskan untuk pergi merantau ke hilir daerah Minangkabau untuk menyebarkan agama Islam.

Bukti peninggalan sejarah yang sangat luar biasa yaitu adanya lokomotif uap kereta api di Silukah, Durian Gadang Kecamatan Sijunjung persis dipinggir sungai Batang Kuantan yang saat ini masih berdiri kokoh dan menjadi cagar alam dan budaya Sumatera Barat, khususnya di Sijunjung. Jarak dari pusat Sijunjung sekitar 18 km, dan dari rodanya samar-samar terlihat angka 1904, kemungkinan itu tahun berdirinya lokomotif uap kereta api tersebut. Sedangkan untuk proses pembangunan jalur kereta api ini dilakukan dengan cara mengerjakannya bermula di dua titik, yaitu Pekanbaru dan Muaro Sijunjung hingga bertemu di titik tengah keduanya, dan merupakan salah satu dari tiga jalur kereta api di Asia yang mendapat julukan “The Death Railway” karena proses pembuatan jalur kereta api ini banyak memakan korban baik dari romusha ataupun dari tahanan Jepang.

 

Para pekerja sangat menderita karena selama pembangunan jalur kereta api ini mereka mendapat perlakuan buruk dari para tentara Jepang. Bagi yang yang sudah sakit dan tidak mampu bekerja akan dibawa ke perkemahan dengan dibantu beberapa dokter, salah satunya yaitu W.J Van Ramshorst, dokter bedah militer dari Den Haag yang melakukan Operasi serta amputasi para pekerja hanya dengan menggunakan pisau dan garpu sederhana.

Beberapa tokoh Adat di Sijunjung menceritakan bahwa ketika para pekerja kekurangan makanan, mereka memakan apa saja termasuk belatung. Beberapa hal yang menyebabkan banyaknya korban meninggal dalam pembangunan jalur tersebut adalah kurangnya obat-obatan, kelelahan, penyakit tropis seperti; diare, malaria, dan disentri, kelaparan, dan lainnya. Pembangunan jalur kereta api Pekanbaru-Muaro Sijunjung dimulai pada bulan Maret 1943 dan selesai tepat saat Jepang menyerah kepada sekutu tanggal 15 agustus 1945, dengan panjang sekitar 220 km. Hampir sekitar 100.000 romusha yang dilibatkan dalam proyek maut ini dan tercatat yang hidup hanya sekitar 20.000 orang saja.

Hingga saat ini Batang Kuantan masih dimanfaatkan sebagai mata pencaharian oleh warga setempat. Masyarakat yang tinggal di tepi aliran Batang Kuantan berprofesi sebagai nelayan yang tangguh dan punya keahlian menelusuri sungai dengan membawa beban atau hasil bumi. Selain itu masyarakat Batang Kuantan dikenal mahir dalam membuat perahu. Batang Kuantan kaya akan hasil buminya dan sampai saat ini masyarakat sekitar masih ada yang melakukan aktivitas penambangan emas dan mengambil pasir secara tradisional disepanjang alirannya.

Aliran sungai ini juga merupakan salah satu jalur ekstrim untuk olahraga Arung Jeram di Kabupaten Sijunjung tepatnya di Nagari Silokek. Lokasinya berjarak 15 km dari pusat pemerintahan Kabupaten Sijunjung dan memiliki jeram-jeram yang berbahaya dan masuk dalam kategori kesulitan level 3. Bagi pencinta arung jeram Batang Kuantan betul-betul menjadi lokasi menantang bagi pecinta olahraga tersebut.

Menilik jejak sejarah masa lampau yang melekat pada sungai Batang Kuantan, menjadikan tempat ini sebagai ikon wisata yang terkenal di Sijunjung. Airnya mengalir pada area perbukitan diantara celah bongkahan batu yang menjulang tinggi, tebing-tebing tersebut berdiri kokoh menutupi sebagian tepian sungai yang ditumbuhi pohon-pohon rindang.

Di beberapa tempat sepanjang aliran Batang Kuantan di Silokek terdapat objek wisata yang juga menarik untuk dikunjungi, seperti Tebing Batu Karang untuk olahraga panjat tebing, serta batuan beku (batu Granit) yang membeku dikedalaman 1 km menjadi singkapan akibat erosi dan proses geologi yang berumur kurang lebih 260-320 juta tahun. Bebatuan ini merupakan keunikan geologi bertaraf Nasional yang terletak didasar Batang Kuantan.

Yang tidak kalah menariknya lagi, disekitar aliran Batang Kuantan juga terdapat beberapa air terjun dan ngalau (gua) seperti air Terjun Palukahan, air Terjun Lubuk Pendakian Sumpur, Ngalau Basurek Silokek, Ngalau Cigak, Ngalau Talago. Keindahan Pasir Putih dan pulau Andam Dewi yang terletak di Batang Kuantan juga memanjakan mata para pelancong yang berkunjung.

Saat ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi juga banyak yang melakukan tugas penelitian, kegiatan ekspedisi alam, dan menyusuri Batang Kuantan. Alasan dipilihnya sungai ini karena kondisi airnya yang masih natural, arus yang besar, dan kondisi alam yang asri. Hal inilah yang membawa Silokek menjadi Geopark Nasional pada tahun 2018. Dengan demikian, sudah jelas bahwa Batang Kuantan berperan penting sebagai jejak sejarah masa lampau, yang tergambar pada kisah Willem Hendrik De Greve dan Thomas Dias. Selain itu juga memiliki sejarah yang berhubungan dengan kerajaan di Minangkabau, perjuangan Indonesia, perkembangan dan masuknya agama Islam di Sijunjung.

Peninggalan sejarah baik berupa benda maupun tak benda pun menjadi bukti jejak sejarah masa lampau yang berhubungan dengan Batang Kuantan. Budaya masyarakat yang tinggal disepanjang aliran sungai ini menjadi saksi keperkasaan Batang Kuantan, dan sangat berpengaruh bagi kelangsungan kehidupan masyarakat sekitarnya.

Keberadaan Batang Kuantan menjadi salah satu objek wisata Sijunjung yang populer hingga kini, serta sebagai ajang uji kemahiran bagi para pecinta Arung Jeram. Destinasi wisata tersebut saat ini diusulkan oleh pemerintah kabupaten Sijunjung untuk menjadi UNESCO Global Geopark. Kedepannya kita bersama berharap khususnya masyarakat Kabupaten Sijunjung dapat ikut berperan melestarikan destinasi Batang Kuantan, agar tetap terjaga dan menjadi destinasi wisata baik nilai sejarah maupun keindahannya bagi generasi selanjutnya.

Oleh karena nilai sejarah dan budaya yang dimiliki oleh Batang Kuantan ini maka perlombaan, parade dan kegiatan serta pertunjukan yang dilakukan merujuk pada nilai historical yang ada di Batang Kuantan seperti mengadakan lomba Photography dan Vlog yang mengangkat tema peradaban di sepanjang jalur Batang kuantan, Lomba Merakik batuang juga merujuk pada keseharian masyarakat jaman dulu yang menggunakan alat transportasi rakik batuang untuk melakukan perjalanan.

Menghadirkan tarian mandulang ameh yang dimana mandulang ameh  merupakan aktivitas pekerjaan masyarakat disekitaran Batang kuantan untuk mencari uang. Mengadakan  parade perahu yang dihias di aliran sungai batang kuantan dimana perahu pada zaman dulu merupakan alat transportasi utama bagi masyarat.

Mengadakan seminar tentang sejarah Batang kuantan, melakukan kegiatan susur goa serta napak tilas disepanjang aliran batang kuantan merupakan upaya untuk memperkenalkan keindahan dan sejarah yang dimiliki oleh Batang Kuantan untuk masyarakat maupun pengunjung.

Selain itu lomba melukis alam disekitaran sungai Batang kuantan juga diadakan untuk anak-anak TK dan SD dengan tujuan mereka dapat mempelajari dan menikmati alam disekitaran Batang Kuantan yang berada di Geopark Silokek